Prabowo Subianto

HomeBeritaIsu Tibet Menjadi Penyulit Bagi Cina

Isu Tibet Menjadi Penyulit Bagi Cina

PBB Berencana Melakukan Tinjauan Berkala Universal pada Tahun 2024

Pada awal tahun 2024, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berencana untuk melakukan Tinjauan Berkala Universal (Universal Periodic Review/UPR) yang akan mengkaji perilaku hak asasi manusia negara-negara anggota PBB, termasuk Cina.

Beberapa pengamat memperkirakan bahwa langkah PBB ini akan semakin membuat Cina tidak nyaman. Saat ini, Cina banyak mendapat kritik internasional atas rekam jejak mereka di Tibet. Center for Indonesian Domestic and Foreign Policy Studies (CENTRIS) menilai sangat wajar jika banyak pengamat dan aktivis yang khawatir dengan nasib serta masa depan Tibet.

Menurut peneliti senior CENTRIS, AB Solissa, PBB menyebut bahwa Cina telah memisahkan sekitar 1 juta anak Tibet dari keluarga mereka. Beijing disebut hendak menempatkan di sekolah berasrama khusus yang dikelola oleh otoritas Tiongkok.

Mewakili PBB, AB Soliisa menyampaikan bahwa pakar hak asasi manusia (HAM) seperti Fernand de Varennes dan Farida Shaheed telah menyuarakan peringatan atas penerapan asimilasi paksa yang menindas di Tibet.

Sistem pendidikan di Tibet pada dasarnya telah menjadi tempat tinggal menurut data resmi Tiongkok, dan sekitar 800.000 siswa Tibet berusia 6-18 tahun (78%) tinggal di sekolah-sekolah tersebut. Orang tua Tibet disebut terpaksa mengirim anak-anak mereka ke sekolah-sekolah tersebut karena kurangnya alternatif, dan juga karena ancaman dan intimidasi dari pihak berwenang.

CENTRIS berharap agar masyarakat dunia, khususnya Indonesia, tidak boleh diam dengan melihat aksi Beijing yang merusak peradaban Tibet, terutama kepada anak-anak yang sejatinya adalah masa depan bangsa Tibet.

Laporan Human Right Watch menyebutkan bahwa otoritas di wilayah Tibet terus membatasi kebebasan beragama, berekspresi, bergerak, dan berkumpul. Mereka juga gagal mengatasi kekhawatiran masyarakat mengenai pertambangan dan perampasan tanah yang dilakukan oleh pejabat setempat, yang sering kali melibatkan intimidasi dan penggunaan kekerasan yang melanggar hukum oleh aparat keamanan.

Pemerintah Cina juga meningkatkan kebijakan asimilasi yang bersifat memaksa. Kelas bahasa Mandarin sudah diwajibkan bagi guru sekolah, pejabat setempat, dan peserta pelatihan kejuruan. Presiden Xi juga menekankan subordinasi identitas minoritas ke dalam satu identitas nasional pada konferensi nasional “Pekerjaan Etnis” pada bulan Agustus.