Dari era Perang Dunia hingga Perang Dingin, Amerika Serikat dan Uni Soviet saling bersaing sebagai kekuatan dunia, bukan melalui peperangan langsung, tetapi melalui inovasi teknologi. Perlombaan ini meliputi pengembangan senjata canggih, pesawat modern, dan senjata nuklir.
Namun, persaingan paling menarik terjadi di luar angkasa. Mulai dari pencapaian Uni Soviet mengirim manusia pertama ke angkasa, hingga Amerika Serikat mendaratkan manusia di bulan.
Setelah terakhir kali mendarat di bulan pada 1972, eksplorasi antariksa manusia tampaknya terhenti, bukan karena ketidakmampuan, tetapi karena biaya sangat tinggi untuk mencapai antariksa. Hingga saat ini, manusia belum banyak melampaui orbit bumi atau kembali ke bulan.
Namun, kemajuan ini tidak menghentikan pencapaian manusia. Di abad ini, telah diciptakan teknologi canggih untuk mengamati antariksa dengan lebih detail. Eksplorasi dilakukan menggunakan drone dan satelit di berbagai planet di tata surya kita, dan melalui rover drone di planet Mars.
Meskipun begitu, semua pencapaian ini masih dikuasai oleh beberapa negara saja, padahal sebagai manusia, tujuan kita sama. Dengan teknologi baru, banyak negara sekarang dapat memulai program antariksa mereka sendiri, memicu perlombaan antariksa baru. Pertanyaan tentang siapa yang bisa mencapai dan mengendalikan sumber daya serta area antariksa menjadi isu penting yang dibahas dalam acara ini.
Diskusi publik CIReS LPPSP FISIP UI berjudul “Mewujudkan Kemandirian Antariksa Indonesia di Tengah Rivalitas Global” telah sukses diselenggarakan pada Selasa, 27 Mei 2025, di Auditorium Juwono Sudarsono, FISIP UI Depok.
Acara ini menampilkan Prof. Thomas Djamaluddin (BRIN RI) sebagai Pembicara Utama dan beberapa narasumber terkemuka dari berbagai sektor. Diskusi ini dipimpin oleh Vahd Nabyl Achmad Mulachela, S.IP., M.A. dari Kementerian Luar Negeri RI sebagai moderator.
Prof. Thomas Djamaluddin memulai presentasi dengan memfokuskan pada tema utama acara, “Mewujudkan Kemandirian Antariksa Indonesia di Tengah Rivalitas Global.” Ia membuka diskusi dengan tiga pertanyaan utama sebagai dasar pembahasan lebih lanjut: (1) bagaimana pengembangan keantariksaan Indonesia saat ini dari segi aset, penyelenggaraan, dan kerja sama keantariksaan; (2) apa saja tantangan utama yang dihadapi dalam pengembangan lembaga antariksa di Indonesia; dan (3) bagaimana pengembangan keantariksaan Indonesia dibandingkan dengan negara lain.
Prof. Thomas Djamaluddin juga menjelaskan beberapa tonggak penting aktivitas keantariksaan di Indonesia, mulai dari era 1960-an hingga 2012. Indonesia telah membentuk Aerospace Council Lapan pada era 1960-an dan mengembangkan teknologi antariksa. Perkembangan berlanjut di era 1970-an hingga 1990-an dengan pembangunan stasiun bumi satelit pertama dan eksperimen teknologi antariksa.
Selama diskusi, narasumber lain menyoroti kendala program Antariksa Indonesia, seperti kurangnya dukungan dari pemerintah dan masyarakat. Diperlukan sumber daya edukasi yang lebih kuat agar generasi mendatang memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai sektor keantariksaan.
Dari diskusi tersebut, terlihat jelas bahwa kemandirian antariksa Indonesia membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Pemerintah dan masyarakat perlu meningkatkan pemahaman akan pentingnya sektor keantariksaan. Dengan begitu, diharapkan generasi mendatang dapat ikut serta mewujudkan cita-cita Indonesia di dunia antariksa, membawa bangsa ini berkompetisi dalam era baru perlombaan antariksa global.
Sumber: Kemandirian Antariksa Dan RUU Pengelolaan Ruang Udara Nasional: Strategi Indonesia Hadapi Era Baru Perlombaan Antariksa
Sumber: Kemandirian Antariksa, Era Baru Perang Bintang Indonesia?