OSLO – Menteri Luar Negeri Norwegia, Espen Barth Eide, menyatakan pengakuan Norwegia terhadap negara Palestina merupakan pesan dukungan yang jelas bagi “kekuatan moderat” di Palestina dan Israel. Norwegia, Spanyol, dan Irlandia secara resmi mengakui negara Palestina.
“Selama lebih dari 30 tahun, Norwegia telah menjadi salah satu negara yang memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Pengakuan Norwegia terhadap Palestina sebagai negara hari ini merupakan tonggak sejarah dalam hubungan Norwegia-Palestina,” kata Eide seperti yang dilansir dari Aljazirah, Selasa (28/5/2024).
Sekretaris Jenderal Norwegian People’s Aid, Raymond Johansen, menegaskan bahwa semakin banyak negara yang mengakui Palestina diharapkan dapat menekan Israel untuk melakukan negosiasi solusi.
“Saat ini, masih jauh dari adanya negosiasi antara pihak yang berselisih, namun langkah Norwegia dalam mengakui Palestina merupakan langkah positif,” ujar mantan Menteri Luar Negeri Norwegia tersebut.
Johansen juga menambahkan bahwa Amerika Serikat selalu menjadi sekutu Israel. Namun, bila Washington mengubah kebijakannya dan memberikan tekanan pada Israel, maka proses perdamaian yang hampir mati itu bisa berubah.
Meskipun begitu, Johansen mengakui bahwa pemerintah Israel masih percaya diri dengan tindakan mereka dan masih mampu melanjutkan kebijakan mereka tanpa perlawanan yang cukup kuat.
“Pada akhirnya, tsunami diplomasi yang terjadi minggu ini tidak akan memiliki dampak pada pemerintah Israel dan pasukannya saat ini,” tambahnya.
Hingga Selasa, sebanyak 11 dari 27 negara anggota Uni Eropa (EU) telah mengakui Palestina. Delapan negara di antaranya sudah mengakui Palestina sejak 1988 sebelum bergabung dengan EU, yaitu Bulgaria, Siprus, Republik Ceko, Hungaria, Malta, Polandia, Rumania, dan Slovakia. Swedia kemudian mengakui Palestina pada tahun 2014.
Minggu ini, Spanyol, Irlandia, dan Norwegia secara resmi mengakui Palestina sebagai negara. Pada Ahad (25/5/2024), serangan roket Israel ke kamp pengungsi di Kota Rafah menewaskan sedikitnya 40 warga Palestina dan melukai puluhan lainnya.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menyebut serangan udara ke kamp pengungsi tersebut sebagai “insiden tragis” dan berjanji akan menyelidiki hal tersebut. Namun, pihak militer Israel mengklaim bahwa senjata yang mereka gunakan adalah senjata “presisi”.
Di tempat lain, Amerika Serikat mendesak Israel untuk melakukan penyelidikan internal setelah Tel Aviv melakukan serangan udara yang mematikan di kamp pengungsi di Rafah akhir pekan lalu. Jurubicara Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, Matthew Miller, mengatakan bahwa Amerika Serikat telah menghubungi Israel sehubungan dengan insiden tersebut dan menekankan perlunya penyelidikan penuh.
Meskipun menuntut penyelidikan internal di Israel, Miller menegaskan bahwa tidak ada perubahan kebijakan Amerika Serikat terhadap konflik Israel dan Hamas di Jalur Gaza.
Militer Israel menyerbu Kota Rafah pada 7 Mei, tujuh bulan setelah melancarkan agresi besar-besaran ke Jalur Gaza pada 7 Oktober 2023, yang menyebabkan eskalasi konflik terbesar dalam beberapa dasawarsa terakhir.