Yogyakarta, CNN Indonesia — Dusun Mlangi di Sleman, DI Yogyakarta, dikenal sebagai salah satu kawasan religius sejak lebih dari 2,5 abad lalu. Dan, yang menjadi denyut perkembangan peradaban religiusitas di sana selama ratusan tahun ini adalah Masjid Pathok Negoro Mlangi atau Masjid Jami An’nur.
Sesuai namanya, Pathok Negoro berarti batas negara, masjid ini menjadi penanda kewilayahan Kesultanan Yogyakarta.
Termasuk Masjid Jami An’nur, total ada empat masjid patok yang berada empat arah mata angin dari keraton Yogyakata sebagai penanda kewilayahan Kesultanan Yogyakarta.
Masjid Pathok Negoro Mlangi yang berdiri di Dusun Mlangi, Kelurahan Nogotirto itu bergaya arsitektur serupa dengan masjid keraton lainnya.
Masjid ini beratap tajug bersusun dua yang ditopang 16 saka dengan pawestren atau tempat ibadah putri di sayap bangunan itu.
Memasuki area utama bangunan, dapat ditemui beduk dan kentongan yang merupakan replika properti dari masa awal masjid ini berdiri.
Kolam air setinggi sejengkal di atas mata kaki orang dewasa mengelilingi bangunan utama.
Fungsinya untuk membasuh kaki dan menyucikan diri sebelum memasuki area masjid. Secara sufistik, hal itu merupakan simbol Baitullah yang dikelilingi air.
Takmir adalah abdi dalem
Masjid Pathok Negoro Mlangi sekarang ini dikelola oleh masyarakat, meskipun pihak keraton masih menganggap para takmir sebagai Abdi Dalem yang menandai status masjid sebagai Kagungan Dalem, atau secara harafiah berarti kepunyaan Sultan.
Pada sisi barat, selatan, dan timur bagian kiri masjid terdapat makam para pemuka dan masyarakat Mlangi yang terkait dengan sejarah bangunan ini. Salah satunya adalah makam Pangeran Ngabei Saloring Pasar atau RM Sandiya. Ia juga dikenal dengan nama Kiai Nur Iman.
Sekretaris Yayasan Nur Iman, Muhammad Mustafid alias Gus Tafid mengatakan Kiai Nur Iman itu sejatinya merupakan putra pertama dari Amangkurat Jawi atau Amangkurat IV bergelar Raden Surya Putra.
“Beliau [Kiai Nur Iman] adalah kakak Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I. Lahir dari ibu yang berbeda,” kata Gus Tafid kepada CNNIndonesia.com, Sabtu (2/3).
Dia mengatakan berdirinya Masjid Mlangi tak lepas dari peran Kiai Nur Iman.
Sekalipun berdarah ningrat, Kiai Nur Iman disebut tak menapaki jalan politik di Keraton Yogyakarta. Dia memilih mengabdikan dirinya dengan mengajar dan syiar Islam di masyarakat.
Dia menceritakan, Kiai Nur Iman sejak dalam masa kandungan hingga dewasa, memang sudah tinggal di lingkungan pondok dan tak pernah menginjakkan kaki ke dalam lingkup kerajaan.
Sekalipun ia tahu punya darah biru, sedari kecil sampai dewasa Nur Iman menghabiskan waktunya di Pesantren Gedangan sebelum berdakwah ke sana kemari.
“Tapi maksudnya bukan lantas dioposisikan dengan keraton ya, tidak. Saya melihatnya ini pembagian tugas, beliau memilih menyebarkan ajaran agama Islam,” tutur Gus Tafid yang juga Pengurus Pondok Pesantren Aswaja Nusantara Mlangi itu.
Ketika Perjanjian Giyanti yang menandai pembagian kekuasaan antara Kesultanan Mataram kepada Sunan Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi disepakati tahun 1755, Kiai Nur Iman sudah melanglang buana berdakwah ke berbagai daerah. Termasuk, kata Gus Tafid, sampai ke suatu titik yang kini dikenal dengan nama Gegulu di Kabupaten Kulon Progo, DIY.
Di situ dikisahkan berhasil mengislamkan Demang Adiwongso dan menikah dengan salah satu putrinya.
Hingga pada suatu saat sebelum naik tahta, atas tirakat para spiritualis keraton, Pangeran Mangkubumi meminta prajurit untuk mencari keberadaan RM Sandiya alias Kiai Nur Iman untuk kembali ke kerajaan.
Setelah itu Sultan Hamengku Buwono I menghadiahkan Kiai Nur Iman tanah perdikan yang bebas pajak.
Hidup di luar keraton, ajarkan agama Islam
Selanjutnya, Kiai Nur Iman tetap memutuskan hidup di luar kraton dan membaur bersama masyarakat biasa demi mengamalkan berbagai disiplin keilmuan Islam seperti, bahasa Arab, fiqih, ilmu tauhid, dan tasawuf yang diperoleh dari pesantren.
Di sebuah desa tempat tinggalnya, Nur Iman mendirikan pondok pesantren yang selanjutnya dikenal dengan nama Pondok Mlangi, dan tempat tinggalnya pun disebut Mlangi.
Mlangi sendiri diambil dari kata ‘mulangi’ yang bermakna mengajar. Istilah Mlangi ada pula yang menyebutnya sebagai singkatan dari “meleng-meleng ambune wangi” yang berarti bercahaya dan berbau harum dari kejauhan.
“Lalu didirikanlah Masjid Pathok Negoro ini, setelah itu putranya, Kiai Mursodo mendirikan Plosokuning. Saya kurang tahu secara presisi tapi infonya (Masjid Pathok Negoro) Babadan, dan Dongkelan juga ada hubungannya,” ujar Gus Tafid.
“Masjid Mlangi ini Pathok Negoro [masjid batas Kesultanan Yogyakarta] yang tertua dan jadi sarana penyebaran Islam oleh Kiai Nur Iman saat itu,” lanjutnya.
Tulisan ini adalah rangkaian dari kisah masjid-masjid kuno di Indonesia yang diterbitkan CNNIndonesia.com pada Ramadan 1445 Hijriah.