Seorang cendekiawan Nahdlatul Ulama, Nadirsyah Hosen, mengungkapkan ketidaksenangan terhadap pernyataan Ketua PBNU, Ulil Abshar Abdalla, yang menegaskan bahwa pertambangan dapat dianggap baik asalkan bukan merupakan praktik pertambangan yang merugikan. Menurut Gus Nadir, pernyataan tersebut terlalu sederhana dalam menghadapi kompleksitas masalah yang sebenarnya terjadi dalam industri pertambangan di Indonesia. Menurutnya, tambang di Indonesia sering kali terkait dengan ketimpangan struktural, kerusakan lingkungan, dan pelanggaran hak masyarakat lokal.
Gus Nadir juga menegaskan bahwa dalam perspektif hukum Islam, kebaikan atau maslahat tidak dapat dipisahkan dari prinsip agama dan kesepakatan para ulama. Jika suatu tambang menyebabkan kerusakan lingkungan, merampas tanah adat, atau mengancam kehidupan masyarakat lokal, maka praktik tersebut bukanlah dianggap sebagai kebaikan, melainkan kerusakan atau mafsadat.
Menurut Gus Nadir, menjaga keseimbangan lingkungan adalah bagian dari nilai-nilai syariat dalam agama Islam. Kerusakan lingkungan akibat pertambangan skala besar dianggap sebagai pengkhianatan terhadap amanah khalifah manusia di bumi. Oleh karena itu, Gus Nadir menolak pemisahan antara pertambangan yang dianggap baik dan buruk, karena kenyataannya banyak perusahaan tambang yang memiliki lisensi resmi juga terlibat dalam pelanggaran etika, hukum, dan sosial.
Secara efektif, Gus Nadir menyerukan untuk menentang kebijakan pertambangan yang merugikan masyarakat dan lingkungan, serta menekankan pentingnya peran moral ulama dalam menegakkan keadilan serta keberlanjutan lingkungan hidup.