Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid mengungkapkan bahwa sertifikat tanah yang diterbitkan antara tahun 1961 hingga 1997 rentan diserobot. Masalah terletak pada kurangnya peta kadastral yang jelas, menyebabkan pemilik tanah sering kali tidak mengetahui lokasi tanah mereka. Hal ini membuat tanah tersebut rentan diserobot oleh pihak lain yang dapat mengakibatkan kerugian bagi pemiliknya.
Untuk mengatasi masalah ini, Nusron menekankan pentingnya mentransformasi sertifikat tanah tersebut menjadi versi elektronik. Ini bertujuan untuk memudahkan pemilik tanah dalam mengetahui lokasi dan batas tanah mereka, serta mengurangi risiko penyerobotan yang merugikan. Sistem koordinat dan aplikasi seperti BHUMI ATR/BPN juga diharapkan dapat membantu dalam penyelesaian sengketa pertanahan yang selama ini sulit diselesaikan karena keterbatasan informasi dan teknologi.
Pemahaman mengenai sertifikat tanah dan batas kepemilikan tanah menjadi krusial mengingat kompleksitas masalah pertanahan di Indonesia. Sertifikat tanah yang diterbitkan di masa lalu sering kali mengalami tumpang tindih, terutama di daerah padat penduduk seperti Jabodetabek. Dengan adanya transformasi ke sertifikat tanah elektronik, diharapkan masalah seperti perselisihan dan klaim tanah dapat diminimalisir, sehingga pemilik tanah dapat lebih merasa aman dan terlindungi.