Chusnul Chotimah (55) masih merasakan dampak dari ledakan bom Bali yang terjadi lebih dari dua dekade yang lalu. Setelah menjalani 37 kali operasi, ia masih berjuang untuk pulih dari luka bakar yang menempel pada tubuhnya. Namun, khawatirnya semakin bertambah ketika Presiden RI Prabowo Subianto mengeluarkan inpres efisiensi anggaran yang dapat mengganggu aksesnya terhadap pengobatan yang kritis. Chusnul yang tinggal di Sidoarjo, Jawa Timur, bergantung pada bantuan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk mendapatkan perawatan medis dan psikiatris yang sangat diperlukan.
Meskipun Achmadi, Ketua LPSK, mendukung pemotongan anggaran yang dilakukan Prabowo, ia menegaskan bahwa hak-hak saksi dan korban akan tetap diakomodir dengan upaya keefisienan. Kritik terhadap efisiensi anggaran juga menjadi sorotan dalam aksi ‘Indonesia Gelap’ belakangan ini. Para korban bom Bali, termasuk Chusnul, merasa kekhawatiran mereka perihal potongan anggaran yang berpotensial merugikan bantuan yang mereka terima dari LPSK.
Dalam usahanya untuk bertahan hidup, Chusnul harus menghadapi biaya pengobatan yang mahal untuk dirinya sendiri dan putranya yang juga mengalami kelainan pembekuan darah langka. Meskipun telah mengirim surat tuntutan kepada DPR dan Prabowo, Chusnul dan para korban lainnya terus berjuang agar LPSK tidak terpengaruh oleh pemotongan anggaran tersebut. Bagi Chusnul, bantuan dari LPSK sangat penting untuk memastikan pengobatan yang diperlukan berjalan lancar. Semua ini menjadi perhatian serius yang harus ditangani dengan bijaksana demi kesejahteraan korban yang harus terus berjuang mengatasi dampak yang ditimbulkan oleh tragedi bom Bali.
