TEL AVIV – Perundingan gencatan senjata terbaru memiliki potensi untuk segera tercapai. Kesulitan pasukan penjajahan Israel (IDF) di medan perang dilaporkan menjadi alasan mengapa Israel menerima proposal yang diajukan oleh kelompok Hamas.
Pembicaraan mengenai suasana positif seputar perundingan gencatan senjata dan kesepakatan pertukaran tawanan di Jalur Gaza, didorong oleh masukan baru-baru ini dari Hamas kepada para mediator, telah menjadi pusat perhatian dalam diskusi mengenai perang Israel di Gaza.
Namun, menurut the Wall Street Journal (WSJ), masukan positif dari Hamas bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi terjadinya perundingan gencatan senjata. Gerakan tersebut sebelumnya telah menunjukkan sikap positif dan fleksibel selama proses negosiasi yang dimediasi.
Menurut WSJ, kesalahan dalam perhitungan medan perang oleh Israel telah membuat analis menyimpulkan bahwa militer dan lembaga keamanan Israel mendorong pemerintah yang dipimpin oleh Benjamin Netanyahu untuk menyelesaikan kesepakatan dengan Perlawanan Palestina.
“Waktu terus berjalan dan semua pihak menyadari bahwa waktu tidak menguntungkan mereka, terutama pihak Israel,” kata Ofer Shelah, mantan anggota parlemen Israel dan analis militer di Institut Israel untuk Studi Keamanan Nasional (INSS), seperti dikutip oleh WSJ.
Pasukan penjajah sebelumnya mulai melakukan transisi ke operasi tahap ketiga di Rafah, seperti yang terjadi di seluruh wilayah lain di Jalur Gaza. Tahap ini menyebabkan berkurangnya jumlah pasukan Israel yang dikerahkan di sekitar kota dan serangan yang lebih kecil di lingkungan tertentu di kota paling selatan di Jalur Gaza.
Saat pasukan penjajah melakukan transisi ke fase operasi baru ini, dengan pejuang Perlawanan Palestina yang tetap mengendalikan Rafah dan kota-kota lain di Jalur Gaza, harapan Israel untuk menghilangkan Hamas semakin tidak realistis. Dampak dari transisi komando militer Israel ke operasi tahap ketiga di Shujaiya dan Jabalia di Kota Gaza adalah bukti kegagalan strategi Israel untuk mencapai tujuan perang yang telah ditetapkan.
WSJ melaporkan bahwa pemerintah dan militer Israel dapat terus membela kebutuhan untuk melawan Perlawanan Palestina selama serangan terhadap Rafah masih terjadi. Hal ini karena pejabat Israel menggambarkan Rafah sebagai benteng terakhir yang masih ada dari Perlawanan Palestina dan bahwa invasi tersebut akan memudahkan pencapaian tujuan perang seperti pembebasan tawanan Israel atau penghancuran kemampuan kelompok Perlawanan.
Ketika invasi beralih ke intensitas yang lebih rendah, tanpa kemajuan signifikan dalam mencapai tujuan perang, pembenaran atas serangan dan pendudukan yang berkelanjutan di Jalur Gaza semakin sulit.
“Meskipun ada banyak keberanian, lembaga keamanan Israel mulai menyadari bahwa kemungkinan keberhasilan dari pertempuran yang berkelanjutan di Gaza sangat kecil, bahkan mungkin negatif,” jelas Shelah.
Sumber: Republika