SANAA – Angkatan Laut Amerika Serikat (US Navy) telah bersiap selama beberapa dekade untuk berpotensi melawan Uni Soviet dan Tiongkok, di perairan dunia. Namun alih-alih menjadi kekuatan global, AL Amerika sekarang malah terlibat dalam pertempuran dengan kelompok Houthi yang berbasis di Yaman.
Pasukan Houthi, kelompok gerilyawan yang memberontak terhadap pemerintah Yaman, mulai melancarkan serangan terhadap kapal-kapal yang menuju Israel di Laut Merah pada Oktober 2023. Mereka melakukan hal itu untuk menghantam ekonomi Israel dan menekan negara Zionis itu agar menghentikan serangan ke Gaza.
Pada bulan Januari, Amerika Serikat bersama sejumlah negara mendukung sekutu mereka Israel untuk melakukan operasi patroli di Laut Merah. Eskalasi di Laut Merah telah berubah menjadi pertempuran laut yang paling intens yang pernah dihadapi Angkatan Laut sejak Perang Dunia II, menurut para pemimpin dan ahli angkatan laut kepada the Associated Press.
Pertempuran tersebut memaksa Angkatan Laut untuk menjaga jalur perairan internasional tetap terbuka melawan kelompok yang dulunya hanya memiliki senapan serbu dan truk pickup, namun kini telah berkembang menjadi pasokan drone, rudal, dan persenjataan lain yang tampaknya tidak ada habisnya.
Serangan yang terjadi hampir setiap hari oleh kelompok Houthi sejak November telah menyebabkan lebih dari 50 kapal menjadi sasaran. Volume pengiriman di koridor penting Laut Merah yang mengarah ke Terusan Suez dan Mediterania juga menurun.
Badan Intelijen Pertahanan AS melaporkan bahwa kelompok Houthi telah melakukan tidak kurang dari 175 operasi maritim sejak 19 November 2023 hingga saat ini di Laut Merah dan Teluk Aden. Operasi-operasi tersebut telah memaksa 29 perusahaan besar dalam industri energi dan pelayaran mengubah rute pelayaran mereka agar tidak menjadi sasaran. Sebagai akibatnya, pengiriman peti kemas di Laut Merah turun hingga 90 persen sejak Desember 2023.
Sebagai respons terhadap gangguan pada jalur pelayaran tradisional, jalur pelayaran alternatif di seluruh Afrika mulai digunakan. Namun, rute-rute tersebut menambah jarak perjalanan hingga 11.000 mil laut, yang menyebabkan perpanjangan waktu transit sebesar 1-2 pekan dan peningkatan biaya bahan bakar jutaan dolar AS per perjalanan.
Kelompok Houthi mengklaim bahwa serangan-serangan tersebut bertujuan untuk mengakhiri perang di Gaza dan mendukung Palestina. Serangan juga terjadi ketika mereka berusaha memperkuat posisi mereka di Yaman. Semua tanda menunjukkan bahwa peperangan akan semakin intensif – yang menempatkan para pelaut AS, sekutu mereka, dan kapal komersial pada risiko yang lebih besar.
“Laju serangan dapat dilihat dari kapal perusak kelas Arleigh Burke, di mana cat di sekitar palka pod rudalnya telah terbakar akibat serangan berulang kali. Para pelautnya terkadang hanya memiliki waktu beberapa detik untuk merespons serangan rudal yang datang,” ujar Kapten David Wroe, komodor yang mengawasi kapal perusak berpeluru kendali.
Satu serangan pada 9 Januari menyebabkan kapal Laboon, kapal lain, dan F/A-18 dari kapal induk USS Dwight D. Eisenhower menembak jatuh 18 drone, dua rudal jelajah anti-kapal, dan sebuah rudal balistik yang diluncurkan oleh Houthi.
Houthi hampir setiap hari meluncurkan rudal, drone, atau serangan lain di Laut Merah, Teluk Aden, dan Selat Bab el-Mandeb yang sempit yang menghubungkan jalur laut dan memisahkan Afrika dari Semenanjung Arab.