JAKARTA— Korea Selatan dan Jepang tengah menghadapi ancaman depopulasi, berkurangnya jumlah penduduk. Kondisi ini bahkan mencapai titik kritis hingga kedua negara mengambil langkah-langkah luar biasa untuk mengatasi persoalan tersebut.
Jumlah penduduk Jepang mulai menurun setelah mencapai puncaknya di angka 128 juta pada 2008, menjadi 125 juta pada 2022. Jika tren ini terus berlanjut, populasi Jepang diproyeksikan menurun menjadi 63 juta pada 2100, setengah dari populasinya pada tahun 2022. Di balik tren ini, terdapat penurunan angka kelahiran di Jepang.
Angka kelahiran di Jepang menurun dari 9,5 kelahiran per 1000 wanita pada tahun 2000 menjadi 6,8 per 1000 pada tahun 2020. Penurunan jumlah penduduk dan tingkat kelahiran ditambah dengan harapan hidup yang panjang telah menghasilkan populasi yang menua.
Proporsi penduduk berusia di atas 65 tahun meningkat dari 17,4 persen pada tahun 2000 menjadi 29,0 persen pada tahun 2022 dan diproyeksikan meningkat menjadi 41,2 persen pada tahun 2100.
Sebaliknya, penduduk usia kerja (penduduk berusia antara 15 dan 64 tahun) menurun dari 68,1 persen dari populasi pada tahun 2000 menjadi 59,4 persen pada 2022, dan diproyeksikan menurun menjadi 51,1 persen pada 2100.
Ketua di Institut Riset Ekonomi, Perdagangan dan Industri, dan Penasihat Riset Senior untuk Presiden Institut Riset Ekonomi untuk ASEAN dan Asia Timur, Shujiro Urata, menjelaskan ada beberapa alasan untuk penurunan populasi ini. Salah satunya adalah tingginya biaya ekonomi untuk memiliki dan membesarkan anak.
Hal ini, kata Shujiro, merupakan masalah yang sangat akut bagi rumah tangga berpenghasilan rendah, di mana para pencari nafkahnya sering kali merupakan pekerja tidak tetap.
Menurut laporan tentang pendapatan rumah tangga dari Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan, pendapatan rata-rata rumah tangga yang dikepalai oleh pekerja tidak tetap adalah sekitar 60 persen dari pendapatan rumah tangga yang dikepalai oleh pekerja tetap. “Masalah ini mungkin mencerminkan kesenjangan pendapatan yang semakin melebar,” ujar dia, dikutip dari eastasiaforum, Sabtu (22/6/2024).
Alasan lainnya, kata dia, adalah perubahan gaya hidup. Di masa lalu, sebuah keluarga pada umumnya terdiri dari seorang pria dan seorang wanita yang menikah sebelum berusia 30 tahun dan kemudian memiliki anak.
Sang istri membesarkan anak-anak ini sementara sang suami mencari nafkah. Pola ini berubah ketika orang-orang mulai mengejar aspirasi mereka sendiri dan masyarakat mulai menerima keragaman.Merefleksikan perubahan ini, jumlah pernikahan per 1000 orang menurun dari 10 pada tahun 1970 menjadi 6,4 pada 2000 dan menjadi 4,1 pada 2022.
Dia mengatakan konsekuensi dari penurunan dan penuaan populasi sangat besar. PDB Jepang pasti akan menurun seiring dengan menurunnya populasi usia kerja kecuali jika ada peningkatan produktivitas yang besar.
Penurunan ini, menurut dia, dapat diperlambat dengan memperpanjang usia pensiun untuk meningkatkan jumlah pekerja yang lebih tua dan dengan meningkatkan partisipasi wanita dalam angkatan kerja. Namun, bahkan strategi ini tidak akan menyelesaikan masalah mendasar dari penurunan populasi usia kerja.
Menurut dia, kekurangan tenaga kerja sudah mulai berdampak pada berbagai sektor dan profesi. Semakin banyak perusahaan kecil dan menengah yang tutup karena kurangnya tenaga kerja. Profesi yang menyediakan layanan sosial dan publik seperti guru, dokter, dan pengasuh menghadapi kekurangan tenaga kerja yang akut.
“Dampak ekonomi negatif dari depopulasi juga sangat terasa di daerah pedesaan. Dampak ekonomi negatif dari populasi yang menua pasti akan menyebabkan standar hidup Jepang menurun,” kata dia menjelaskan.
Dia menyatakan, pemerintah Jepang telah menerapkan berbagai langkah untuk mengatasi depopulasi, tetapi sejauh ini belum efektif. Menyadari keseriusan masalah depopulasi, pemerintahan Perdana Menteri Fumio Kishida merumuskan ‘Arahan Strategi untuk Masa Depan Anak’ pada Juni 2023 dengan tujuan menghentikan penurunan jumlah kelahiran.