Seorang wanita dibawa oleh petugas polisi saat demonstrasi pro-Palestina oleh kelompok Student Coalition Berlin di halaman teater universitas Freie Universität Berlin di Berlin, Jerman, Selasa, 7 Mei 2024.
BERLIN — Polisi Jerman membubarkan demonstrasi solidaritas pada rakyat Palestina di Gaza di Free University (FU) di Berlin. Para pengunjuk rasa mengenakan keffiyeh dan berteriak “viva, viva Palestina.”
Pengunjuk rasa pro-Palestina di Eropa dan Amerika Serikat (AS) menghadapi penindakan keras dari pihak berwenang. Tapi perlawanan terhadap perang Israel di Gaza yang sudah menewaskan hampir 35 ribu rakyat Palestina yang sebagian besar perempuan dan anak-anak, terus tumbuh.
Polisi juga membongkar tenda-tenda protes pro-Palestina di berbagai kampus-kampus di AS.
“Pendudukan tidak dapat diterima di kampus FU Berlin, kami bersedia untuk dialog akademik, tapi bukan ini caranya,” kata Rektor FU Guenter Ziegler dalam pernyataannya seperti dikutip dari Aljazirah, Selasa (7/5/2024).
Sementara dalam unggahan video di media sosial dan diverifikasi Aljazirah, terlihat massa yang mendukung rakyat Palestina di Gaza dan menuntut diakhirinya perang Israel di kantong pemukiman itu berkumpul di Place de La Republique di Paris.
Saat Israel mulai menyerang Gaza, Prancis melarang protes terhadap perang tersebut dan menindak keras pengunjuk rasa. Namun pada awal November 2023, unjuk rasa pro-Palestina diizinkan digelar.
Dosen Amsterdam University (UvA) mengecam respon pihak berwenang Belanda pada pengunjuk rasa pro-Palestina. Upaya polisi Belanda mengintervensi demonstrasi berakhir dengan kekerasan.
Polisi menggunakan bulldozer untuk menghancurkan barikade demonstran dan menahan 10 orang pada Senin (6/5/2024) lalu. Dosen dan karyawan universitas marah dengan respons polisi dan mengajak kembali demonstran untuk berunjuk rasa pada Selasa (7/5/2024).
“Para mahasiswa dan staf menggambarkan polisi menggunakan semprotan merica, pentungan, anjing polisi dan bulldozer untuk memaksa mereka pindah. Banyak orang terluka karena kekerasan yang berlebihan ini,” kata kelompok yang menamakan dirinya Cendekiawan Belanda untuk Palestina.
“Kami dengan tegas dan jelas menuntut hak-hak mahasiswa dan cendekiawan untuk melakukan protes. Kami menyesalkan ketergantungan administrasi Amsterdam University pada penggunaan kekerasan daripada terlibat dalam tuntutan mahasiswa yang dapat dibenarkan,” tambah kelompok itu dalam pernyataannya.
Dalam pernyataannya Amsterdam University mengatakan “kami sangat menyesal segala sesuatunya berjalan seperti itu. Berdemonstrasi diperbolehkan di UvA, tetapi menutup wajah, barikade atau suasana intimidasi.”
Sumber: Republika