spot_img

Prabowo Subianto

Efek Negatif Jika Matikan Mesin Motor Matic dengan Standar

Saat ini, kebanyakan motor dilengkapi dengan fitur Side Stand Switch yang berfungsi untuk melindungi mesin dan memberikan keamanan tambahan saat standar samping diturunkan. Namun,...
HomeprabowoKepemimpinan Militer: Jenderal Besar TNI Sudirman

Kepemimpinan Militer: Jenderal Besar TNI Sudirman

Dengan berbagai keputusan teladan sebagai Panglima TNI pertama, Jenderal Sudirman telah memberikan generasi TNI selanjutnya warisan yang kuat dan mulia: tradisi kepahlawanan dalam bentuk yang paling murni. Dia meninggalkan landasan harga diri dan kebanggaan bagi para pemimpin TNI masa depan. Karakter dan tindakan Pak Dirman waktu itu mencerminkan karakter dan tindakan seorang pemimpin pejuang sejati.

Kepahlawanan beliau telah memberikan reputasi TNI sebagai kekuatan yang tak kenal lelah dalam menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan individu atau kelompok. Beliau memperkuat ide bahwa prajurit TNI harus bersedia berkorban segalanya demi kehormatan dan kemuliaan bangsa.

Jenderal Sudirman lahir di Purbalingga pada tanggal 24 Januari 1916. Ia adalah seorang guru sekolah dasar di sekolah berafiliasi Muhammadiyah di Solo, yang saat itu disebut Surakarta. Ketika para pemimpin gerakan kemerdekaan Indonesia berhasil meyakinkan penduduk Jepang bahwa mereka harus memperbolehkan warga Indonesia membentuk organisasi militer pertahanan diri, berbagai organisasi militer diorganisir di bawah pengawasan ketat Jepang.

Di Jawa, kekuatan ini disebut Pembela Tanah Air (PETA). PETA di Jawa diorganisir di tingkat kabupaten, dan terdapat sekitar 60 batalyon relawan PETA yang dilatih dan diorganisir. Para komandan batalyon dipilih dari para pemimpin pribumi yang sangat dihormati di kabupaten mereka.

Di Purwokerto, seorang kepala sekolah muda dari sekolah menengah Islam di bawah naungan Muhammadiyah terpilih. Hal ini menunjukkan bahwa sebagai seorang kepala sekolah muda, Sudirman sudah dikenal dan dihormati karena integritas dan karakter teguhnya. Pemuda dengan pendidikan dan reputasi baik dipilih untuk menjadi komandan perusahaan dan komandan peleton. Mereka dilatih oleh Jepang di pusat pelatihan perwira di Bogor. Di antara komandan perusahaan tersebut adalah nama-nama seperti Suharto, Ahmad Yani, Kemal Idris, Surono, Sarwo Edhie dan banyak nama lain yang kemudian terkenal sebagai pemimpin TNI.

Selama perang, para komandan PETA ini langsung mengambil alih kepemimpinan batalyon mereka dan bersumpah setia kepada republik yang baru diumumkan pada 17 Agustus 1945. Sebagai pemimpin batalyon Purwokerto, Sudirman segera bergerak menuju Magelang, salah satu pusat konsentrasi militer sejak zaman kolonial Belanda. Setelah merebut Magelang pada akhir 1945, Sudirman dengan gigih mengejar pasukan Inggris yang menduduki Hindia Belanda. Meskipun Inggris telah berencana untuk mundur, unit-unit Sudirman terus-menerus mengganggu pasukan Inggris dengan sangat keras sehingga kepergian mereka dipercepat. Di mata pejuang kemerdekaan Indonesia, beliau menjadi sosok heroik yang mewakili semangat perlawanan TNI yang garang. Beliau diakui berhasil mendorong dan mengusir pasukan Inggris dari Magelang dan memimpin serangan Ambarawa terhadap mereka. Ini merupakan pukulan penting dalam memastikan Jawa Tengah berada di bawah kendali penuh Republik Indonesia.

Setelah kejadian di mana Sudirman meraih ketenaran dan mendapatkan penghargaan dari sesama komandan batalyon di sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur, Presiden Sukarno, melalui Menteri Pertahanan, menunjuk Urip Sumarjo sebagai Panglima Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pertama pada 5 Oktober 1945. Perwira paling senior dari Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL) saat itu, Urip Sumoharjo, diangkat sebagai Panglima Besar.

Beliau bersumpah setia kepada TNI. Beliau dianggap sebagai prajurit yang paling profesional dan berpengetahuan luas di Indonesia. Namun, para pemimpin semua batalyon di Jawa protes bahwa mereka tidak menginginkan Panglima Besar yang dilatih Belanda. Mereka semua memilih Sudirman sebagai Panglima Besar. Keputusan mereka disampaikan kepada Presiden Sukarno. Untuk menjaga persatuan dan perdamaian republik yang masih muda, Presiden Sukarno mengubah keputusannya. Sudirman diangkat sebagai Panglima Besar TKR, dan Urip Sumoharjo menjadi Kepala Staf Umum di bawahnya.

Pada 19 Desember 1948, meskipun ada perjanjian gencatan senjata yang tercapai di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Belanda melancarkan operasi militer dalam bentuk serangan mendadak di Yogyakarta, ibu kota Republik Indonesia saat itu. Banyak yang menyamakan serangan ini dengan serangan mendadak Jepang terhadap Pearl Harbor pada 1941 atau pukulan dibelakang dari Mussolini terhadap Prancis pada 1940. Menghadapi kenyataan ini, banyak pemimpin negara saat itu memutuskan untuk tidak bertahan dan melawan serta membuktikan ketidaksahehan tindakan Belanda melalui sarana diplomasi dan politik.

Pada akhir 1948 Jenderal Sudirman, Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Indonesia, menderita tuberkulosis parah. Kesehatannya sangat menurun, dan ia hanya memiliki satu paru-paru yang masih berfungsi setelah operasi. Meskipun sakit, Sudirman meninggalkan rumah sakit tempat ia dirawat dan pergi menjumpai Presiden Sukarno pada awal serangan mendadak Belanda. Beliau menyarankan agar Presiden meninggalkan Yogyakarta bersama Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan memimpin perang gerilya melawan invasi Belanda. Namun, Presiden Sukarno menolak untuk memimpin perang gerilya.

Sukarno bahkan memerintahkan Jenderal TNI Sudirman untuk tetap berada di kota karena kondisi medisnya yang serius. Presiden Sukarno, bersama hampir semua anggota kabinetnya, memilih untuk tidak meninggalkan kota untuk bertempur dan memberikan sedikit perlawanan ketika pasukan Belanda yang maju menangkap mereka.

Jenderal Sudirman memutuskan untuk meninggalkan Yogyakarta dan melakukan perang gerilya melawan musuh. Berdasarkan catatan sejarah, dapat dipahami bahwa rakyat Indonesia sangat kecewa dengan berita penangkapan Presiden, Wakil Presiden dan Perdana Menteri Indonesia. Namun, perlawanan sengit yang dilakukan oleh Jenderal TNI Sudirman dan pasukannya meningkatkan semangat seluruh bangsa, dan TNI akhirnya berhasil mengungguli.

Dengan berbagai keputusan teladan, Jenderal Sudirman telah memberikan pada generasi berikut TNI sebuah warisan yang kuat dan mulia, yaitu tradisi kepahlawanan dalam bentuk yang paling murni. Kepemimpinannya dalam perang gerilya melawan Belanda meninggalkan landasan harga diri dan kebanggaan bagi para pemimpin TNI masa depan.

Jenderal Sudirman telah menunjukkan bahwa ia memiliki kepribadian yang kuat dan tak kekurangan keberanian, sikap tegas, dan semangat pengorbanan yang tulus. Beliau sadar bahwa ada kemungkinan besar ia akan terluka dan tidak mendapatkan perawatan medis yang memadai selama perang gerilya semacam itu. Tetapi beliau memilih untuk mempertaruhkan nyawanya demi kepentingan bangsa Indonesia. Tindakannya ini meningkatkan kepemimpinan bawahannya dan kepercayaan masyarakat luas di hadapan serangan Belanda.

Sulit membayangkan bagaimana keadaannya jika saat itu Jenderal Sudirman juga ditahan oleh Belanda. Sikap dan tindakan Pak Dirman waktu itu tak lain hanyalah sikap dan tindakan seorang pemimpin pejuang sejati. Perbuatan heroiknya telah memberikan reputasi TNI sebagai kekuatan tanpa henti yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan individu atau kelompok. Beliau meneguhkan tradisi TNI untuk mengorbankan segala sesuatu demi kehormatan dan kemuliaan bangsa.

Source link