Presiden Brasil Juscelino Kubitschek memutuskan untuk memindahkan ibukota Brasil dari Rio de Janeiro ke sebuah hutan belantara di jantung negeri Samba, yang kini dikenal dengan nama Brasilia. Alasannya sederhana, Rio de Janeiro dengan overpopulasi dan kepadatan pesisirnya sudah tak ideal lagi menjadi ibukota negara. Lebih dari itu, Kubitschek bertekad meratakan pembangunan dan kesejahteraan ke daerah interior Brasil.
Keputusan ini mendapat respons yang beragam. Ada yang menilai keputusannya itu visioner sehingga perlu didukung, ada yang mencemoohnya sebagai ide gila, dan ada pula yang mempertanyakan dari mana uangnya.
Duta Besar Brasil untuk Indonesia, Rubem Antonio Barbosa, mengatakan, “Sejarah mencatat keputusan dan keberhasilan Kubitschek memindahkan ibukota ke Brasilia sebagai keputusan yang tepat.” Dia juga menambahkan bahwa penyebaran populasi pun menjadi lebih merata, dan Brasilia kini memiliki pendapatan per kapita tertinggi di Brasil bahkan di Latin Amerika.
Brasilia, yang sejak 1987 didapuk sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO karena arsitektur modernis dan tata kotanya yang unik, juga memiliki masalahnya sendiri. Namun dalam 100 tahun terakhir, lebih dari 30 negara telah berpindah ibukota seiring dinamika yang berubah. Indonesia pun tidak terkecuali.
Mengikuti jejak Brasil, pemindahan ibukota Indonesia bukan hanya tentang relokasi geografis, tetapi tentang meredefinisi prioritas pembangunan, pemerataan kesejahteraan, dan menata ulang pusat gravitasi ekonomi dan politik. Keputusan berani ini, seperti yang pernah diambil Kubitschek, memang tak mudah tapi dapat berbuah manis di masa depan.
Indonesia perlahan memasuki babak baru dalam sejarahnya, sebuah babak yang kelak menjadi cerita inspiratif bagi generasi yang akan datang. Babak itu ada di Nusantara.