Jaringan kedai kopi terkenal Amerika Serikat (AS), Starbucks, dan merek pakaian asal Swedia, H&M akan menutup permanen di Maroko. Keputusan ini diambil karena penurunan tiba-tiba dalam permintaan terkait dengan kampanye boikot pro-Palestina yang sedang berlangsung.
Menurut laporan situs berita Maroko Media Maroc Hebdo, manajemen Grup Alshaya Kuwait yang mengelola waralaba H&M dan Starbucks di Timur Tengah dan Afrika Utara sangat terdampak oleh kampanye boikot yang dilakukan masyarakat. “Menurut informasi yang dapat dipercaya, dua merek global besar, termasuk merek pakaian asal Swedia, H&M, dan jaringan kopi bergengsi Amerika, Starbucks, akan meninggalkan Maroko mulai 15 Desember,” demikian laporan tersebut.
Sementara menurut laporan dari The New Arab, beberapa karyawan toko tidak mengetahui tentang penutupan tersebut. “Ini akan menjadi bencana, kami memiliki lebih dari 100 karyawan. Ke mana kita akan pergi setelahnya? Mudah-mudahan laporan tersebut tidak benar,” ujar seorang pekerja di toko Starbucks di Maroko.
Laporan lokal mengatakan, konsumen mendukung produk alternatif yang diproduksi dalam negeri dalam kampanye boikot terhadap merek-merek yang memberikan sumbangan dan dukungan terhadap Israel. Starbucks memiliki 18 lokasi di Maroko, sedangkan H&M hanya membuka empat toko.
Media daring berbahasa Inggris yang meliput berita tentang Maroko, Yabiladi melaporkan, bahwa penutupan kedua waralaba tersebut terjadi setelah bertahun-tahun alasan manajemen dan kesulitan ekonomi struktural. “Sumber informasi yang meminta tidak disebutkan namanya telah mengindikasikan bahwa keputusan kedua merek tersebut tidak ada hubungannya dengan situasi di Timur Tengah,” kata laporan itu.
Toko-toko yang disponsori Kuwaiti, seperti Pinkberry, Mothercare, Next, dan Payless, sebelumnya dikatakan telah meninggalkan pasar Maroko karena kinerja yang buruk, hal ini mendukung laporan Yabiladi.
Pengguna media sosial telah menargetkan merek-merek yang memiliki hubungan dengan Israel. Jaringan restoran cepat saji global lainnya seperti Domino’s dan Burger King juga menjadi sasaran boikot, karena keduanya dilaporkan memberikan makanan gratis kepada pasukan Israel sebelum dan selama perang.
Terinspirasi oleh Gerakan Hak-Hak Sipil Kulit Hitam di Afrika Selatan, aktivitas seperti gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS) secara historis memberikan tekanan politik dan ekonomi pada Israel. Gerakan pro-Palestina menggunakan dan memperluas metode boikot yang ditargetkan karena dampaknya lebih langsung dibandingkan boikot yang tidak ditargetkan.
“Banyak dari daftar panjang yang menjadi viral di media sosial justru memberikan dampak yang berlawanan dengan pendekatan strategis dan berdampak ini. Mereka mencakup ratusan perusahaan, banyak yang tidak memiliki bukti kredibel mengenai hubungan mereka dengan penindasan rezim Israel terhadap warga Palestina, sehingga menjadikan mereka tidak efektif,” ujar BDS di situs webnya.
“Kita semua mempunyai kapasitas manusia yang terbatas, jadi sebaiknya kita menggunakannya dengan cara yang paling efektif untuk mencapai hasil yang bermakna dan berkelanjutan yang benar-benar dapat berkontribusi pada pembebasan Palestina,” kata BDS. Sumber: Republika