GAZA — Dokter Palestina Haya al-Sheikh Khalil akhirnya bergabung dengan warga Gaza lainnya untuk mengungsi ke selatan. Keputusan ini harus diambil karena RS Al-Shifa tempatnya bekerja sudah tidak mampu beroperasi lagi.
Namun, baginya, keputusan untuk pergi ke selatan Gaza adalah pilihan yang menakutkan. Khalil dan warga lainnya meninggalkan al-Shifa pada Jumat (10/11/2023) dengan berjalan kaki.
“Kami tidak yakin dengan tujuan kami saat membawa dokumen identifikasi kami,” katanya kepada Middle East Eye.
Mereka harus pergi sambil menyaksikan pemandangan kematian dan kehancuran yang mengerikan selama perjalanan menuju selatan.
Mereka bertemu dengan sekitar tujuh tank di sebuah pos pemeriksaan, beberapa buldoser, dan sekitar 20 tentara Israel yang mengelilingi tank-tank tersebut. Mereka yang mencoba melintas tanpa membawa kartu identitas dihentikan dan diinterogasi “dengan cara yang menghina”.
“Evakuasi dilakukan di bawah bombardir udara dan artileri, dengan tentara yang mengarahkan senapannya kepada kami. Kami berjalan jauh di bawah panas terik. Itu melelahkan dan menakutkan,” tambahnya.
Khalil, bersama dua saudara laki-lakinya yang juga dokter, dan sejumlah rekannya harus berjalan kaki selama 3,5 jam hingga mencapai rumah perlindungan di kamp Nuseirat di Jalur Gaza bagian tengah.
Dalam perjalanan, tentara Israel mencegah mereka yang berjalan dari utara ke selatan Gaza untuk berbelok ke kanan atau ke kiri. Mereka juga menangkap banyak pemuda untuk diinterogasi, dipukuli, dan mengalami kekerasan.
Khalil dan kelompok dokter yang menemaninya akhirnya menuju ke pusat penampungan di sekolah yang dikelola oleh badan bantuan PBB, Unrwa, di kamp Bureij, Jalur Gaza tengah, sebelah timur Nuseirat. Namun, jumlah pengungsi di sekolah itu sangat mengejutkan dan tidak ada tempat untuk menampung lebih banyak orang.