Umat Kristen Palestina di Gaza merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah umat Kristen di Tepi Barat dan Yerusalem. Gaza adalah tempat kelahiran agama Kristen di wilayah tersebut.
Menurut laporan Middle East Eye, umat Kristen Palestina di Gaza tidak menganggap diri mereka terpisah dari negara Palestina secara umum. Meskipun hanya ada sekitar seribu orang Kristen yang tinggal di Gaza, wilayah tersebut memiliki arti yang penting.
Gereja Saint Porphyrius di Gaza, yang diserang oleh Israel, adalah salah satu situs keagamaan terpenting di Palestina. Gereja ini dinamakan berdasarkan seorang uskup abad ke-5. Situs ini adalah salah satu tempat ibadah tertua yang masih berdiri di wilayah Palestina, dan juga salah satu gereja tertua di dunia.
Gereja ini awalnya dibangun pada tahun 425 M dan kemudian dibangun kembali oleh Tentara Salib pada abad ke-12. Situs Kristen lain yang penting di Gaza adalah biara Tell Umm Amer yang berada di dekatnya. Biara ini lebih tua dari Gereja Saint Porphyrius.
Keberadaan gereja dan biara ini, serta adanya referensi Kitab Injil, menunjukkan bahwa agama Kristen di Gaza telah ada sejak agama tersebut berkembang di wilayah tersebut. Namun, adopsi agama Kristen ini secara luas baru terjadi pada abad ke-5.
Menurut sejarawan Nicole Belayche, dalam esainya di buku Christian Gaza in Late Antiquity, ia menyebutkan bahwa saat Porphyrius menjadi uskup di Gaza, jumlah umat Kristen hanya sekitar 300 orang dari populasi total yang diperkirakan berjumlah antara 20.000 hingga 25.000 orang.
Meskipun jumlahnya kecil, umat Kristen di Gaza tetap bertahan selama berabad-abad dan mengalami pertumbuhan singkat di bawah kekuasaan Tentara Salib pada abad ke-12.
Seperti halnya warga Palestina lainnya, banyak umat Kristen di wilayah Gaza terpaksa meninggalkan rumah mereka saat berdirinya negara Israel pada 1948. Pengusiran paksa ini dikenal sebagai Nakba. Sejak itu, populasi umat Kristen di Gaza terus menyusut seiring berjalannya waktu.
Menurut The Guardian, pada pertengahan 1960-an, terdapat sekitar 6.000 warga Kristen Palestina di Gaza. Saat ini, jumlahnya telah menurun menjadi 1.100 orang.
Mayoritas umat Kristen di Gaza menganut Gereja Ortodoks Yunani, sedangkan sebagian kecil lainnya menganut Gereja Baptis dan Katolik. Sejak pengepungan Israel di Gaza dimulai pada 2007, umat Kristen juga menghadapi pembatasan pergerakan yang sama dengan umat Muslim.
Terputus dari komunitas Kristen yang lebih besar di Tepi Barat dan Yerusalem, umat Kristen di Gaza memerlukan izin dari Israel untuk melakukan perjalanan ke acara keagamaan. Pada tahun 2021, Israel mengeluarkan izin kepada sekitar separuh populasi umat Kristen Palestina di Gaza untuk menghadiri kebaktian Natal.
Namun, hak untuk menghadiri upacara keagamaan tersebut tidak dijamin sepenuhnya, seperti yang terbukti dengan pembatalan 700 izin oleh Israel bagi umat Kristen di Gaza yang ingin menghadiri kebaktian Paskah di Yerusalem. Israel juga menolak permohonan izin bagi 260 warga Palestina di Gaza yang ingin merayakan Natal di luar wilayah tersebut.
Meskipun jumlahnya sedikit, gereja-gereja di Gaza tetap membuka pintunya bagi penganut agama apa pun untuk mencari perlindungan selama masa konflik, dengan harapan bahwa tempat ibadah tidak diserang oleh Israel. Harapan tersebut mungkin memudar setelah serangan terbaru Israel terhadap Gereja Saint Porphyrius.
Sumber: Republika